Pages - Menu

Saturday 20 December 2014

Pak Broto Masih Njowo


Pak Broto seorang seniman sejati. Kadang kolot, kadang moderat. Lukisannya dari yang bergambar Punakawan sampai wajah indah Kota Awan. Bisa bermain alat musik Sasando, Rebana, Gamelan hingga Gitar dan Piano. Sangat multi-talented. Suatu hari Romo dateng ke rumah beliau. Pak Broto menyambutnya dengan dialektika universal. “Sugeng enjang Romo, monggo lenggah rumiyin.” Kata Pak Broto. Indah sekali persahabatan mereka bagai kawan lama yang bertemu kembali. Ternyata maksud dan tujuan Romo ingin mengundang Pak Broto berpentas musikal di Katredal pada perayaan Paskah. Kesepakatan cepat pun terjalin, Romo pulang dengan kepala dingin.
Namun para tetangga tidak suka dengan sikap Pak Broto. Orang Islam tidak boleh turut merayakan hari Paskah, kata mereka. Dari segi jasadiyah dan rohaniyah, maupun tradisi dan budaya, itulah nilai-nilai yang di”kerdil”kan. Masuk gereja “najis”, ikut merayakan haram, lalu musik harus yang berbau “Arab”, alat musik harus terbangan, semua harus arabisasi. Pak Broto surut untuk galau, dia mampu menjalankan hak prerogatif terhadap sikapnya. Untung beliau orang Jawa, setidaknya memiliki pembenaran.
Pertama, Pak Broto paham dengan Nilai Dasar Kepercayaan. Baginya, Tuhan hanya membuat satu agama. Beberapa agama lain merupakan bentuk-bentuk ajaran “samawi”, beberapa yang lain adalah agama “bumi”. Inilah pondasi pemikiran Pak Broto. Kedua, semua manusia secara horizontal sama, walaupun dengan agama, ras, suku, bahasa, dsb yang melambangkan ke-plural-an. Plural merupakan sunnatallah, manusia tinggal mengolahnya. Kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan merupakan pilar-pilar yang menopang bangunan kehidupan. Gus Dur pernah berkata, “Berbuat baiklah pada orang lain, orang lain tidak akan tanya apa agamamu.”
Nelson Mandela, salah satu contoh tokoh pejuang pilar-pilar bangunan kehidupan. Beliau bukan ingin menjadikan kulit hitam sebagai penguasa “Horn Cape”, dan tidak menjadikan kulit putih sebagai pihak yang bersalah. Sikap rasial, diskriminatif dan marginalisasi adalah frame-frame yang patut dihapuskan. Pada pidato kepresidenan, beliau membuat seantero Afrika Selatan terenyuh, “No one is born hating another person because of the colour of his skin, or his background, or his religion. People must learn to hate, and if they can learn to hate, they can be taught to love, for love comes more naturally to the human heart than its opposite.”
Musik hanyalah alat. Alat yang digunakan untuk bersenandung, mensyukuri alunan indah, bahasa universal manusia atau kata orang Sufi untuk menemukan Allah. Ada 2 orang, yaitu si A beragama Syiah, sedangkan si B beragama Syibeh. Mereka sama-sama naik bemo menuju Ponorogo. Si A dan si B adalah subjek, bemo adalah alatnya. Analogi tersebut jika dikaitkan dengan musik sama. Mau keroncong, pop, RnB, rock sampai musik arab adalah alat yang digunakan oleh subyek.
Tak perlu kita mengubah aku menjadi ana, sampean menjadi antum, dan kalian menjadi akhi. Kita pertahankan kearifan lokal. Kita serap ajarannya, bukan budayanya. Budaya-budaya lokal di bidang musik, tarian, makanan, sampai tontonan harus dilestarikan. Pertahanan bangsa yang utama adalah pertahanan budaya. Jangan sampai propaganda asing menjadikan Indonesia sebagai ladang budaya barat dan timur yang menimbulkan disintegrasi, kehilangan identitas, dan egoisme budaya.
Ya, Pak Broto perlu memperdalam pemikiran Gus Dur. Manusia sekarang menjadikan Islam sebagai agama umat Islam, namun Gus Dur memperjuangkan Islam agama Rahmatan lil alamin.

No comments:

Post a Comment

disertai nama alamat