I. Pendahuluan
A.
Latar
Belakang
Jika penafsiran al-qur’an tidak didapatkan
dari alqur’an, sunnah, atau pun para sahabat, maka mayoritas para imam
mengembalikannya kepada pendapat para tabi’in
seperti mujahid bin jabar yang ahli tafsir.
Periode ketiga perkembangan tafsir adalah
pada masa tabi’in yang dimulai sejak berakhirnya tafsir pada masa sahabat. Hal
ini ditandai dengan banyaknya tokoh-tokoh mufassir pada masa sahabt yang
meninggal dunia, meraka adalah pra guru dari para tabi’in dan juga banyaknya para
tabi’in yang mengikuti jejak guru-gurunya dalam bidang penafsiran alqur’an,
khususnya berkaitan dengan ayat-ayat alqur’an yang masih tersembunyi
pengertiannya. Karena banyaknya para tabi’in yang menafsirkan ayat alqur’an,
maka hasil karyanya dikenal dengan tafsir tabi’in. mengenai tafsir tabi’in
didalam makalah ini akan dipaparkan lebih rinci sejarah perkembangan tafsir
masa tbi’in.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana metode penafsiran masa tabi’in ?
2. Siapa saja mufassir yang terkenal pada masa tabi’in ?
3. Apa ciri-ciri penafsiran yang menonjol pada masa tabi’in yang membedakan dengan tafsir
lainnya ?
4. Bagaimana hukum tafsir tabi’in ?
5. Dimana pusat-pusat pengajian tafsir pada masa tabi’in ?
II. Pembahasan
A. Metode Penafsiran Al-Qur’an Masa Tabi’in
Periode tabi’in kira-kira dari tahun 100H/732 M sampai
dengan 181H/812M yang ditandai dengan wafatnya tabi’in terakhir yaitu khalaf
bin khulaifat (w. 181H).
Dalam penafsiran para tabi’in berpegang kepada sumber-sumber yang telah ada pada masa
pendahulunya yaitu
1. Al-qur’an,
2. as-sunnah,
3. pendapat para sahabat,
4. Caerita-cerita dari ahli kitab
5. ijtihad.
Untuk ke-4 sumber yang disebutkan pertama, dalam pemakaiannya
para tabi’in tidak jauh berbeda dengan para sahabat. Sedangkan yang terakhir muncul karena tafsir sahabat hanya menafsirkan
sebagian ayat saja, yaitu ayat-ayat yang dirasa sangat sulit. Tafsir tabi’in
merupakan penyempurnaan dari sebagian
kekurangan yang ada pada masa sahabat. Usaha penyempurnaan tafsir alqu’an
dilakukan secara terus menerus dengan berdasarkan pada pengetahuan mereka atas
bahasa arab, peristiwa yang terjadi pada masa turunya alqur’an, alat-alat pemahaman dan
sarana pengkajjian yang lainya.
Jadi, Tidak
ada perbedaan yag mencolok atara metode yang digunakan tabi’in dan para sahabat. Metode tersebut adalah :
1.
At-Tafsir qur’an bi al-Qur’an
2.
At-Tafsir l-Qur’an bi al-Aqwal rasul saw.
3.
At-tafsir bi aqwal ash-Shahabat
4.
Ijtihad wa istinbath
5.
At-Tafsir bi aqwal ahlil kitab
1. At-Tafsir qur’an bi al-Qur’an,
2. At-Tafsir l-Qur’an bi al-Aqwal rasul saw
3. At-tafsir bi aqwal ash-Shahabat
tb%s3sù z>$s%
Èû÷üyöqs%
÷rr&
4oT÷r&
ÇÒÈ #Óyr÷rr'sù 4n<Î)
¾ÍnÏö6tã !$tB
4Óyr÷rr&
ÇÊÉÈ
4. Ijtihad wa istinbath
5. At-Tafsir bi aqwal ahlil kitab
Alasan mengapa para tabi’in memasukan “aqwal ahlul kitab” yang meliputi
yahudi dan nashrani adalah, bahwa dalam al-Qur’an terdapat certia-cerita
sebelum nabi muhamad namun bersifat global. Untuk menggali lebih detail cerita
tersebut maka perlulah untuk menggali dari sumber langsung, yakni injil dan
taurat, hal-hal seperti inilah yang disebut sebagai Isra’iliyyat.
B. Mufasir-mufasir Termasyhur
Berikut nama-nama mufassirin yang masyhur pada masa
Tabi’in :
-
Mekah : pengikut ibnu abbas, seperti: mujahid ,
ikrimah, atha’ bin abi rubaa
-
Madinah : pengikut ubbay bin kaab seperti: zaid
bin aslam, abu al-aliyah, Muhammad bin ka’ab alqurdiy
-
Kuffah: pengikut ibnu masud seperti: qatadah, al
qamah dan al sya’biy.
C. Ciri-ciri penafsiran yang menonjol pada masa Tabi’in yang membedakan
dengan tafsir lainnya.
Dilihat dari segi sumber-sumbernya tafsir masa tabi’in
umumnya berbentuk al-ma’sur, seperti halnya pada masa sahabat. Jika ditinjau dari
sudut cara penafsiran, secara umum tafsiran mereka memakai metode ijmali.
Metode ini agak lebih luas di banding tafsir masa sahabat, tetapi belum masuk
katagori tahlili (analisis).
Dari sudut pandang ruang lingkup, tafsir pada masa
tabi’in pada umumnya belum difokuskan pada suatu bidang pembahasan tertentu,
sama halnya dengan tafsir para sahabat yang masih melebar, meliputi bidang ibadah, mu’amalah, munakahat, jinayat, dll.
Jadi dari sudut ruang lingkup tafsir , kedua periode tsb belum banyak berubah,
tidak seperti tafsir pada masa mutaqaddimin dan mutaakhirin yang sudah mulai difokuskan
pada bidang tertentu.
a. Ciri khas tafsir pada masa tabi’in adalah:
1. lebih banyak menggunkan methode riwayat daripada logika atau diroyah.
2. Produk tafsir yang ada belum sistematik (Penjelasannya global dan
berkutat pada aspek linguistic).
b. Perbedaan sekaligus keistimewaan tafsir masa tabi’in :
1. Masuknya unsur Israiliyyat dalam tafsir.
2. Tafsir yang dihasilkan disesuaikan dengan kebutuhan orang-orang ajam,
sebab islam pada masa ini semakin luas ke daerah yang berbeda kultur dengan
arab.
3. Munculnya Qira’ah
4. Semakin maraknya ikhtilafiah at-Tafsiriyah.
5. Tafsir periode tabi’in selalu disandarkan kepada riwayat sahabat yang
mutawatir sampai nabi. sehingga dari sini diketahui mana tafsir yang kuat dan
lemah, shahih dan dlo’if dipandang dari riwayatnya.
6. Banyak diwarnai adanya perbedaan pendapat madzhabiyah.
Selain itu, persamaan antara sahabat dan tabi’in dalam proses penafsiran al-Qur’an adalah,
mereka sama-sama “takut salah” dalam menafsirkan al-Qur’an. Tak jarang, ketika
mereka ditanya tafsiran suatu ayat, kebanyakan dari mereka diam, berhati-hati
agar tafsiranya tidak salah. Karena bagi mereka, yang berhak menafsirkan
al-Qur’an adalah mereka yang telah menguasai ilmu gramatikal arab beserta
syariat Islam.
D. Hukum Tafsir Tabi’in
Ulama
berbeda pendapat tentang hukum tafsir tabi’in. Apakah produk masa ini bisa dijadikan rujukan tafsir
dalam memecahkan sebuah masalah atau tidak? Menimbang bahwa, sebagian tafsir
tabi’in tidak disandarkan kepada nabi dan sahabat. Ada dua thaifah (golongan )
yang berpendapat :
Thoifah
pertama, mengatakan “tidak wajib menjadikan tafsir masa tabi’in sebagai rujukan
dalam islam”. Alasannya adalah :
1.
Bahwa tafsir masa tabi’in tidak Sama’I (asli) dari riwayat rasul.
Berbeda dengan tafsir masa sahabat yang langsung dari nabi.
2.
Kaum tabi’in bukanlah kaum yang mengetahui
proses turunya al-Qur’an dengan segala konteksnya secara langsung. Sehingga
dikhawatirkan produk tafsirnya hanya sebuah dzon yang dijadikan dalil.
3.
Tabi’in tidak mendapat legitimasi dari
Nash, yang mendapat legitimasi hanyalah nabi dan sahabatnya :
Sedangkan Thaifah
kedua sebaliknya.Mereka tetap menggunakan produk tafsir masa tabi’in. Sebab,
tabi’in adalah adalah kalangan yang pernah bertemu dengan para sahabat meski
tak sampai kepada nabi dan itu sudah cukup untuk suatu alasan.
E. Pusat-pusat pengajian tafsir pada masa tabi’in
a. Madrasah tafsir di makkah
Madrasah tafsir di makkah didirikan oleh sahabat
Abdullah ibn Abbas, yang menjadi guru dan sekaligus menafsirkan dan menjelaskan
ayat alquran yang di rasa masih sulit pengertiannya kepada para tabi’in. proses
kemunculannya diawali dari penafsiran terhadap hal-hal yang musykil dari makna
lafadz alquran, kemudian tabi’in menambahkan pemahamannya sendiri, lalu meriwayatkan tafsir dari sahabat dan penfsiran tabi’in sendiri kepada generasi berikutnya. Keistimewaan para
tokohnya yaitu pertama, dalam hal qira’at, madrasah ini menggunakan qiro’at yang berbeda-beda, kedua, dalam hal metode penafsiran, mdrasah ini sudah memakai dasar aqliy.
b. Madrasah tafsir di Madinah
Madrasah didirikan oleh ubay bin ka’ab, pendapatnya
tentang tafsir banyak dinukilkan generasi sesudahnya. Keistimewaan madrasah
ini, pertama, telah ada sistem
penulisan pada naskah-naskah dri ubay bin k’ab lewat abu aliyah lewat rabi’
oleh ja’far al raziy, ibn jarir, ibn hatim, dan al hakim banyak meriwyatkan
dari ubay lewat abu aliyah. Kedua,
telah berkkembang ta’wil terhadapat ayat-ayat alquran . ketiga, telah timbul penafsiran bir ra’yi.
c. Madrasah tafsir di irak
Madrasah ini dipelopori oleh Abdullah bin Mas’ud.
Madrasah tafir timbul melalui proses ketik
khalifah umar menunujuk ammar bin jser sebagai gubenur
di kuffah.
Keistimewaan madrasah ini adalah pertama, secara
global, lebih banyak di diwarnai oleh ahl ra’yi. Kedua, sebagai
konsekuwensinya, maka timbul masalah kilafiyah dalam penafsiran alqu’an. Ketiga,
sebgai kelanjutan adanya khilafiyah penafsiran alqu’an , maka timbulah metode
istidlal.