TURUNYA AL QUR’AN
DENGAN TUJUH HURUF
Makalah
Guna memenuhi tugas
Mata kuliah ulumul
qur’an
Dosen pengampu:
Prof. Drs. Ahmad Taqwim, M.Ag
Disusun oleh:
Panji
aryo permadi (124211080)
FAKULTAS USHULUDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012/2013
TURUNYA AL QUR’AN
DENGAN TUJUH HURUF
A.
LATAR BELAKANG
Al-Quran merupakan pedoman umat Islam yang berisi petunjuk dan tuntunan
komprehensif guna mengatur kehidupan di dunia dan akhirat. Ia merupakan
kitab otentik dan unik, yang mana redaksi, susunan maupun kandungan maknanya
berasal dari wahyu, sehingga ia terpelihara dan terjamin sepanjang zaman.
Sulit dibayangkan sekiranya umat Islam tidak memiliki al-Qur’an. Padahal ia
adalah umat terakhir, umat yang diutus Allah sebagai saksi atas perbuatan semua
manusia, dan umat terbaik yang rasulnya menjadi rahmat bagi alam semesta
(rahmatan lil ‘alamin). Atau sulit dibayangkan sekiranya al-Qur’an yang ada di
tangan umat ini bukan berasal dari ‘Tangan’ Zat yang maha mengetahui segala
sesuatu yang gaib dan yang zahir.
Fenomena al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad saw ternyata
bagaikan magnet yang selalu menarik minat manusia untuk mengkaji dan meneliti
kandungan makna dan kebenarannya. Al-Qur’an yang diturunkan atas ‘tujuh
huruf’(sab’at ahruf) menjadi polemik pengertiannya di kalangan ulama, polemik
ini bermuara pada pengertian satb’ah dan ahruf itu sendiri, dan korelasinya
dengan cakupan mushaf Usman.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian tujuh huruf menurut ulama?
2. Apa Dalil mengenai Al-Qur’an turun dengan tujuh huruf (sab’ah ahruf)?
3.
Apa Perbedaan Ahruf
Sab’ah Dengan Qira’at Sab’ah?
4.
Hikmah apa saja yang
terkandung dalam Al-Qur’an yang turun dengan tujuh huruf?
C. PEMBAHASAN
1. Pengertian tujuh huruf menurut ulama
Tidak terdapat nas
sarih yang menjelaskan maksud dari sab’at ahruf. Sehingga menjadi hal yang
lumrah kalau para ulama,-berdasarkan ijtihadnya masing-masing, berbeda pendapat
dalam menafsirkan pengertiannya. Ibn Hibban al-Busti (w. 354 H) sebagaimana
dikutip al-Suyuti mengatakan bahwa perbedaan ulama dalam masalah ini sampai
tiga puluh lima pendapat.[1] Sementara al-Zarqani
dalam kitabnya hanya menampilkan sebelas pendapat secara detail dari
perbedaan-perbedaan ulama tersebut. Perbedaan ulama mengenai pengertian sab’at
ahruf ini tidak berasal dari tingkatan kualifikasi mereka atas hadis-hadis
tentang tema dimaksud. Perbedaan itu justru muncul dari lafaz sab’at dan ahruf
yang masuk kategori lafaz-lafaz musytarak, yaitu lafaz-lafaz yang mempunyai
banyak kemungkinan arti, sehingga memungkinkan dan mengakomodasi segala jenis
penafsiran. Selain itu juga disebabkan adanya fenomena historis tentang
periwayatan bacaan al-Qur’an yang memang beragam. Berikut ini sebagian dari
pendapat-pendapat tersebut:
Pendapat pertama.
al-Tabari, dan jumhur ulama fiqh, dan hadis mengartikan sab’at ahruf sebagai
tujuh bentuk bahasa yang berbeda lafalnya, tetapi sama maknanya. Dengan bahasa
lain, sab’at ahruf di sini dapat diartikan tujuh bahasa dari bahasa-bahasa Arab
tentang lafaz-lafaz tertentu yang berbeda lafaznya tetapi sama maknanya,
seperti lafaz halumma, qasdi, ta’al, nahwi, dan aqbil. Meskipun kata-kata
tersebut berbeda dalam pelafalan namun maknanya satu, yaitu perintah untuk
datang.
Pendapat kedua, Ibn
Qutaibah menafsirkan sab’at ahruf dengan tujuh bentuk (awjuh) perubahan, yaitu:
- Perubahan harakat (tanda baca) tetapi
makna dan bentuk tulisannya tidak berubah.
- Perubahan pada kata kerja (fi’il)
- Perubahan pada lafaz, seperti
“nunsyiruha” dengan ra’ dan “nunsyizuha” dengan za’
- Perubahan dengan pergantian huruf yang
berhampiran mahrajnya
- Perubahan dengan penambahan dan
pengurangan kalimat.
- Perubahan dengan cara mengemudiankan
dan mendahulukan.
- Perubahan dengan penggantian suatu
kata dengan kata yang lain.
Pendapat yang serupa
juga dikemukakan oleh Ibn al-Jazari dan Qadi Ibn Tayyib. Bahkan pada
substansinya kedua pendapat terakhir ini tidak berbeda dengan penafsiran yang
dikemukakan oleh Ibn Qutaibah[2], kecuali dalam hal ungkapan, urutan, dan contohnya. Dalam hubungannya
dengan qira’ah, ketiga pendapat in juga tidak jauh dengan penafsiran yang
dikemukakan al-Razi.
Pendapat ketiga,
kelompok ini mengatakan bahwa yang dimaksud sab’at ahruf adalah tujuh bahasa
bagi tujuh kabilah Arab. Tujuh bahasa ini adalah tujuh bahasa yang paling fasih
di antara suku-suku Arab, yang terbanyak adalah bahasa Quraisy, Huzail, Saqif,
Kinanah, Tamim, dan Yaman. Pendapat ini dibenarkan oleh al-Baihaqi dan
al-Abhari.
Ibn Mansur al-Azhari
(w. 370 H) menyebutkan bahwa pendapat ini sebagai pendapat yang mukhtar, dengan
alasan perkataan Usman ketika menyuruh mereka menulis mushaf, “Dan sesuatu yang
yang kamu perselisihkan antara kamu dan Zaid, maka kamu tulislah dengan bahasa
Quraisy, karena al-Qur’an banyak turun dengan bahasa mereka”. Dari
penelitian al-Sijistani mengenai bahasa al-Qur’an ternyata ditemukan lebih
banyak dari bahasa-bahasa yang sudah disebutkan di depan, ia menyebutkan
sekitar dua puluh delapan bahasa, sementara Abu Bakr al-Wasiti menyebutkan
empat puluh bahasa, termasuk bahasa di luar rumpun bahasa Arab, seperti Nabat,
Barbar, Suryani, Ibrani, dan Qibti.
Pendapat keempat, Qadi
‘Iyad, dan ulama yang sepakat dengannya menganggap pengertian sab’at
ahruf yang terdapat dalam hadis Nabi sebagai sesuatu yang pelik dan tidak dapat
dipahami makna sebenarnya. Sebab kata ahruf termasuk lafaz musytarak yang secara
literal (harfiyah) dapat berarti ejaan, kata, makna, sisi, ujung, bentuk,
bahasa, dan arah. Sementara kata Sab’ah ada yang mengartikannya tidak dengan
bilangan tujuh yang sebenarnya. Akan tetapi maksudnya hanyalah untuk memberikan
kemudahan dan keleluasaan bagi umat. Sebab kata sab’ah digunakan untuk
menunjukkan arti banyak (kasrah) dalam hal satuan, sebagaimana kata sab’un
dalam hal puluhan dan sab’umiyah dalam hal ratusan. Dengan demikian kata sab’ah
(tujuh) di sini tidak dimaksud bilangan tertentu.
Pendapat kelima, Ada
yang mengatakan bahwa yang dimaksud sab’at ahruf adalah qira’at sab’ah. Ada
yang menegaskannya dengan tujuh qira’ah dari tujuh sahabat Nabi, yaitu Abu
Bakr, Umar, Usman, ‘Ali, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, dan Ubay Ibn Ka’ab,[3] dan adapula pula yang menghubungkannya dengan qira’ah tujuh yang populer.[4]
Ibn al-Jazari
mengemukakan bahwa sesungguhnya pendapat ini tidak diucapkan oleh seorangpun
dari ulama-ulama, hanya pendapat ini merupakan perkataan yang memberatkan ulama
dari dulu dalam menceritakan, membantah, dan menyalahkannya. Pendapat ini
adalah suatu sangkaan orang-orang awam yang bodoh, tidak lain. Sesungguhnya
mereka mendengar turunnya al-Qur’an dalam tujuh huruf dan tujuh riwayat, maka
kemudian mereka menghayalkan hal tersebut.
Hasbi ash-Shiddieqy
menilai bahwa pendapat yang menyatakan bahwa sab’at ahruf sebagai sab’at
qira’ah merupakan pendapat yang lemah. Pernyatan Hasbi ini memang beralasan,
sebab sekalipun tujuh ahli qira’ah itu sangat berpengaruh dalam pembacaan
ayat-ayat al-Qur’an, namun masih ada ahli qira’ah lain yang digunakan
juga qira’ahnya.
Qira’ah mutawatirah
yang masyhur di kalangan umat Islam, tidak hanya qira’ah sab’ah. Dikenal pula
qira’ah sittah, qira’ah asyrah, qira’ah ihda asyrah. Dengan demikian pendapat
ini tidak diakui, karena tidak ada seorang ulamapun yang sepakat dengan
pendapat ini.
2.
Dalil mengenai
Al-Qur’an turun dengan tujuh huruf (sab’ah ahruf)
Al-Qur’an diturunkan
dalam bahasa arab yang jelas. Hal ini adalah suatu yang wajar karena Al-Qur’an
diturunkan ketengah-tengah umat yang berbahasa arab melalui Nabi yang berbahasa
arab sekalipun ini bukan berarti bahwa islam hanya untuk bangsa arab.[5]
Rasulullah SAW
bersabda, “Jibril telah membacakan Al-Quran kepadaku dalam satu huruf. Aku
berulang-ulang membacanya. Selanjutnya aku selalu meminta kepadanya agar
ditambah, sehingga ia menambahnya sampai tujuh huruf. (H.R. Bukhori Muslim).
Kemudian, Rasul SAW berkata: “sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh
ahruf ( huruf), maka baca kamulah mana yang mudah dari padanya”. (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dan Muslim).
Hadits kedua ini
berasal dari umar ibn al-khaththaab yang membawa hisyam ibn hakim ke hadapan
Rasul karena membaca surat al-furqon dengan berbagai cara baca dan Rasul tidak
pernah membacanya dengan cara itu kepada umar. Setelah hisyam memperdengarkan
bacaanya kepada Rasul, Rasul berkata: “Demikianlah ia diturunkan” dan
seterusnya menyambungnya dengan sabdanya di atas.
3.
Perbedaan Ahruf Sab’ah Dengan Qira’at Sab’ah
Lafal Qira’at adalah
bentuk jamak dari Qira’ah yang merupakan bentuk masdar dari Fi’il Madi Qara’a.
Menurut bahasa qira’ah artinya bacaan, para ahli mengemukakan menurut istilah
secara berbeda-beda.
a. Ibn Al Jarazi ,
mengemukakan bahwa qira’at merupakan pengetahuan tentang cara-cara mengucapkan
kalimat-kalimat Al Qur’an dan perbedaannya.
b. Al Shabani,
mengemukakan bahwa Al Qur’an oleh seorang imam qara yang berbeda dengan (bacaan
imam) lainnya.
Orang yang pertama
menyusun Qira’at adalah salah satu kitab Abu Ubaid Al- Qosim Ibn Salam (wafat
tahun 244 H). Beliau telah mengumpulkan para imam qira’at dengan bacaannya
masing-masing, para toko lain yang turut melopori lahirnya ilmu Qira’at adalah
Abu Hatim Al-sijistany, Abu Ja’far al-Thabary dan Ismail al-Qodhi.
Qira’at ini terus berkembang hingga sampailah pada Abu Bakar Ahmad Ibn Musa Ibn Abbas Ibn mujahid yang terkenal dengan panggilan Ibn Mujahid (wafat tahun 324 H) di Bagdad. Beliaulah yang menyusun dan mengumpulkan Qira’ah sa’bah atau tujuh Qira’at dari tujuh imam yangdikenal di Mekkah, Madinah, Kufah, Basrah, dan Syam. Para tujuh imam dari Qari tersebut adalah :
Qira’at ini terus berkembang hingga sampailah pada Abu Bakar Ahmad Ibn Musa Ibn Abbas Ibn mujahid yang terkenal dengan panggilan Ibn Mujahid (wafat tahun 324 H) di Bagdad. Beliaulah yang menyusun dan mengumpulkan Qira’ah sa’bah atau tujuh Qira’at dari tujuh imam yangdikenal di Mekkah, Madinah, Kufah, Basrah, dan Syam. Para tujuh imam dari Qari tersebut adalah :
1) Ibn Amir
Nama lengkapnya
Abdullah aal-Yashubi yang merupakan seorang Qodhi di Damaskus pada masa
pemerintahan Ibn Abd al-Malik. Beliau berasal dari kalangan tabi’in yang belajar
Qira’at dari al-Mughirah Ibn Abi Syihab al-Mahzumi, Usman bin Affan dan
Rsulullah SAW. Beliau wafat tahun 118 H Damaskus. Muridnya yang terkenal dalam
Qira’at yaitu Hisyam dan Ibn Szakwan.
2) Ibn Katsir
Nama lengkapnya Abu
Muhammad Abdullah Ibn Kastir Al-Dary al-Makky. Beliau adalah imam Qira’at di
Mekkah dari kalangan tabi’in. Yang pernah hidup bersama sahabat Sbdullah Ibn
Zubair, Abu Ayyub al-Anshari dan Annas Ibn Malik. Beliau wafat tahun 291 H,
muridnya yang terkenal adalah Al-Bazy (wafat tahun 250 H) dan Qunbul (wafat
tahun 291 H).
3) Ashim Al-Khufy
Nama lengkapnya ‘Ashim
Ibn Abi Al-Nujud M. Asadi disebut juga Ibn Bahdalan dan nama panggilannya
adalah Abu Bakar, beliau seorang tabi’in yang wafat sekitar tahun 127-128 H di
Kuffah. Kedua perawinya yang terkenal adalah Syu’ban (wafat tahun 193 H) dan
Hafsah (wafat tahun 180 H).
4) Abu Amr
Nama lengkapnya Abu Amr
Zabban Ibn A’la Ibn Ammar al-Bashti yang sering juga dipanggil Yahya. Beliau
seorang guru besar pada rawi yang wafat di Kuffah pada tahun 154 H.
5) Hamzah al-Kufy
Nama lengkapnya Hamzah
Ibn Habib Ibn Imarah al-Zayyat al-Fardh al-Thaimi yang sering dipanggil Ibn
Imarah. Beliau berasal dari kalangan hamba sahaya ikrimah Ibn Robbi’ Mthaimi
yang wafat di Hawan pada masa khalifah Abu Ja’far al-Manshur tahun 156 H. Kedua
perawinya yang terkenal adalah khalaf (wafat tahun 229 H) dan Khallat (wafat
tahun 220 H).
6) Imam Nafi
Nama lengkapnya Abu
Ruwaim Nafi Ibn Abd Al-Rahman Ibn Abi Na’im al-Laisry. Beliau berasal dari
Isfahan dan wafat di Madinah pad tahun 169 H. Perawinya adalah Qolum (wafat
tahun 220 H) dan Warassy (wafat tahun 197 H).
7) Al-Kisaiy
Nama lengkapnya Ali Ibn
Hamzah. Selain imam Qori beliau terkenal juga sebagai imam nahwu golongan
Kufah. Nama panggilannya Abu al-Hasan dan sering juga disebut Kisaiy karena
sewaktu berihram beliau memakai kisa. Beliau wafat pada tahun 189 H di
Ronbawyan yaitu sebuah desa di negeri Roy dalam perjalanan menuju Khurasan
bersama al-Rasyid. Perawinya yang terkenal adalah Abd al-Haris (wafat tahun 242
h) dan Al-Dury (wafat tahun 246 H).
4.
Hikmah Al-Qur’an Turun
Dengan Tujuh Huruf
Hikmah yang dapat diambil dengan kejadian turunnya Al-Qur’an dengan tujuh
huruf adalah sebagai berikut:
1. Mempermudah ummat Islam khususnya bangsa Arab yang dituruni Al-Qur’an sedangkan
mereka memiliki beberapa dialeks (lahjah) meskipun mereka bisa disatukan
oleh sifat ke-Arabannya.
2. Sebagai mukjizat al-Qur’an dari sisi lughawi (bahasa) bagi
bangsa Arab. Karena beragamnya dialek diantara suku-suku Arab.
3. Mukjizat al-Qur’an dari segi makna dan penggalian hukum. Karena
berubahnya bentuk lafaz dalah sebagaian huruf akan menghasilkan produk hukum
yang dapat berlaku dalam setiap masa. Oleh karena itu, para fuqaha dalam
istinbat (penyimpulan hukum) dan ijtihad berhujjah dengan qiraat bagi ketujuh
huruf ini.[6]
4. Menyatukan ummat Islam dalam satu bahasa yang disatukan dengan bahasa
Quraisy yang tersusun dari berbagai bahasa pilihan dikalangan suku-suku bangsa
Arab yang berkunjung ke Makkah pada musim haji dan lainnya.
D. KESIMPULAN
Dari deskripsi di atas
dapat disimpulkan bahwa jumhur ulama dalam masalah ini cenderung mengambil
jalan akomodatif, dengan tidak membenarkan pendapat yang menyatakan mushaf
Usmani hanya memuat satu huruf, juga tidak membenarkan pendapat yang menyatakan
bahwa mushaf Usmani sudah mencakup keseluruhan sab’at ahruf. Dari pandangan ini
jumhur terlihat ambivalen, di mana pada satu sisi mereka tidak membenarkan
pendapat yang menyatakan bahwa mushaf Usmani telah mencover keseluruhan sab’at
ahruf, ini berarti ada bagian dari sab’at ahruf yang dihilangkan, namun pada
sisi lain mereka juga tidak membenarkan pendapat al-Tabari yang menyatakan
bahwa mushaf Usmani hanya memuat satu huruf saja. Padahal argumentasi al-Tabari
mengenai permasalahan ini selaras dan dapat dipertanggung jawabkan secara
historis.
Dari sini dapat
dipahami bahwa turunnya al-Qur’an dalam berbagai variasi bacaan (sab’at ahruf),
sifatnya kontekstual dan bukan suatu yang normatif. Hal ini dapat diketahui
dari konteks turunnya di Madinah yang awalnya berfungsi sebagai keringanan dan
kemudahan bagi umat Islam yang saat itu terdiri dari berbagai kabilah dengan
beragam bahasa dan dialek, yang hal itu tidak terjadi di Mekkah karena umat
Islam masih minoritas dan tidak butuh pada adanya variasi bacaan al-Qur’an.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Suyuti, Jalalal-Din.
al-Itqan fi‘Ulum al-Qur’an. jilid I
Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Al-Qaththan, Manna’, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Litera
AntarNusa, Bogor, 1992
Wahid, Ramli Abdul. Ulumul Qur’an. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
[1] ]
Al-suyuthi, Jalaludin, op. cit.,
Jilid I, hlm. 47
[2] ]
Al-Suyuti, Jalaludin, op. cit.,
Jilid, I, hlm. 47-48
[3]]
Al-Qaththan, Manna’. hlm. 159-160
[4]]
Ibid., hlm. 82
[5]]
Wahid, Ramli Abdul. Ulumul
Qur’an. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 129
[6]
Al-Qaththan, Manna’, Studi Ilmu-Ilmu
Qur’an, Litera AntarNusa, Bogor, 1992, hlm. 248