Pages - Menu

Saturday 4 June 2011

SANTRI SEMARANG: cerita SEMARANG

SANTRI SEMARANG: cerita SEMARANG: "Beberapa waktu yang lalu, aku bersama salah seorang sahabat, melancong ke kota Semarang. Y ang membuatku menggeliat-geliat penuh semangat d..."

SANTRI SEMARANG: Gus maksum

SANTRI SEMARANG: Gus maksum: "Pondok Pesantren dulunya tidak hanya mengajarkan ilmu agama dalam pengertian formal-akademis seperti sekarang ini, semisal ilmu tafsir, fi..."

cerita SEMARANG

Beberapa waktu yang lalu, aku bersama salah seorang sahabat, melancong ke kota Semarang. Yang membuatku menggeliat-geliat penuh semangat di sana adalah karena eksotisme bangunan-bangunan tua zaman Belanda yang ada di Kota Lama. Pikirku, “ Wow.. Kejadian apa aja ya yang udah dilihat oleh bangunan tua ini?”
Nah karena itulah, akhirnya aku penasaran tentang sejarah kota Semarang dan Kota Lama. Berterimakasih pada penemu Internet, karena berkatnya aku mendapatkan pencerahan.
Jadi begini:
Setelah mencari-cari informasi dengan alot di internet, akhirnya aku mendapatkan informasi berharga bahwa ternyata kota Semarang itu ada di Jawa Tengah (Ya iyalah.. He2)
Ok ok… Serius..
Sejarah Semarang
Jadi Kota Semarang yang dulu sangat berbeda dengan yang sekarang… Dulu itu, pas abad 8 SM, kota Semarang adalah sebuah daerah yang bernama Bergota (atau Plagota). Daerah itu dikuasai Kerajaan Mataram Kuno. Jadi ceritanya, dulu itu bentuk daerah Semarang itu gak kayak sekarang. Daerah Semarang yang di sebelah Utara dulunya adalah laut. Awalnya bentuk daerah Semarang seperti gugusan pulau-pulau kecil. Itu katanya si Van Bemmelen …. Jadi dia adalah ahli geologi Belanda yang bilang bahwa garis pantai utara pulau Jawa pada jaman dahulu terletak beberapa kilometer menjorok ke daratan saat ini (mungkin juga dia sok tau.. kayak dia udah hidup aja taon segitu….He2). Bahkan daerah Semarang Bawah itu dulu adalah lautan. Makanya gak heran kalau kita lagi jalan-jalan di daerah Semarang, gampang banget menemukan ikan laut …. kalo lagi di pasar ikan. (Ya iyalah…) Tapi karena ada pengendapan lumpur terus menerus akhirnya daerah-daerah itu jadi daratan.
Pada awal abad 15 daratan Semarang udah sampai ke daerah Sleko saat ini. Pada saat itu pelabuhan Semarang telah menjadi pelabuhan penting, sehingga banyak kapal dagang asing berlabuh di sana. Lalu mulailah orang-orang asing sering maen ke Semarang.
di urutan pertama terdapat Pedagang Cina yang mulai masuk ke Semarang pada abad 15 . (pada abad ini Laksamana Cheng Ho mendarat yang seterusnya dia bikin kelenteng yang jadi Mesjid, yang sekarang disebut Kelenteng Sam Poo Kong (Gedong Batu)).
Menempati di posisi kedua, terdapat Portugis dan Belanda yang masuk ke Semarang pada permulaan abad 16, lalu membayang-bayangi di belakang terdapat Pedagang dari Malaysia, India, Arab dan Persia yang mulai berdatangan pada abad 17. (Kayak balap Formula 1…) Nah di Semarang, para pendatang tersebut mulai membuat pemukiman-pemukiman etnis mereka masing-masing.
Asal kata “Semarang”
Terus bagaimanakah asal muasal istilah “Semarang”? Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari BIN dan Warung Indomie Si Mamat dekat kampus dulu, terkuaklah kabut hitam yang menyelimuti misteri asal kata “Semarang” itu. Ternyata ada dua versi cerita tentang asal muasal kata “Semarang”. Kedua versi ini sangatlah otentik dan sulit untuk tidak dipercayai kebenarannya. Juga sangat mirip, bagai pinang di belah traktor.
Versi I, pada akhir Abad 15 seorang Pangeran dari kesultanan Demak yang bernama Made Pandan pergi mencari daerah baru untuk nyebarin ajaran Agama Islam. Sampai akhirnya dia ketemu dengan daerah Bergota (cikal Bakal Semarang). Di sana Pangeran Made Pandan dibantu anaknya yang bernama Raden Pandan Arang, lalu mereka mendirikan pesantren. Entah bagaimana, lama kelamaan daerah itu tanahnya menjadi semakin subur, dan dari situ tumbuhlah pohon asam yang tumbuhnya arang (jarang) lalu kemudian disebut Asem Arang. Makanya daerah itu lama kelamaan dikenal dengan sebutan Semarang.
Versi II, menyebutkan bahwa dulu terdapatlah dua orang Betawi yang mendatangi daerah itu untuk berdagang dan ingin bertemu dengan sang pengeran dari Demak. Ketika mereka bertemu dengan penduduk setempat, tiba-tiba saja salah satu orang Betawi men-jitak kepala temannya. Tidak ikhlas dijitak, yang dijitak pun nyeletuk ke salah seorang temannya yang bernama Kumarang, ” Asem lu, rang…” dan penduduk setempat pun mengira kalau itu adalah sebutan orang Betawi untuk daerah itu. Sejak saat itu, orang mulai menyebut daerah itu dengan nama ASEMLURANG.. lama kelamaan sebutan itu mengalami peluruhan menjadi Semarang. Konon katanya, Mereka yang telah percaya dengan teori ini sekarang telah banyak mendekam di rumah sakit jiwa. Sisanya berkeliaran di jalan-jalan… Hehe..
Ok, terlepas dari versi mana yang benar, dalam perjalanannya ternyata kesultanan Demak mengalami kemunduran. Dengan demikian diputuskan untuk memindahkan ibukota Demak ke Pajang. Lama kelamaan Pajang semakin berkembang dan menjadi kerajaan dan bahkan ekspansi ke Jawa Timur. Sejarah mencatat, (ceilah, bahasanya…) Sultan Hadiwijaya (raja Pajang) punya masalah keluarga dengan Arya Panangsang dari Kadipaten Jipang Panolan. Singkat cerita, si raja Pajang ini (Sultan Hadiwijaya) akhirnya berhasil mengalahkan Aryo Panangsang atas bantuan 2 tokoh. Salah satu tokoh tersebut adalah Ki Ageng Pemanahan. Sebagai ucapan terima kasih, maka raja Pajang pun mengirimkan bunga papan ke rumah Ki Ageng Pemanahan. Ya gaklah… sebagai balesan maka raja Pajang pun ngasih tanah kepada Ki Ageng Pemanahan yang berlokasi di Hutan Mentaok. Nah, si raja Pajang gak tau kalo ternyata Ki Ageng Pemanahan itu pinter mengembangkan hutan menjadi desa terus jadi kerajaan yang lama kelamaan makin berkembang terus (mungkin dulu sering maen game Sim City, atau mungkin saja kalo ternyata beliau adalah nenek moyangnya Ciputra?! Ini adalah misteri…).
Pada keturunan berikutnya daerah hutan Meraok ini akhirnya menjadi kerajaan besar yang akhirnya malah justru memberontak kepada Pajang, si induk semangnya. Hmm… Pagar makan tanaman. Akhirnya keturunan Ki Ageng Pemanahan, yaitu Sutawijaya mengangkat dirinya menjadi raja Mataram dan Pajang justru jadi daerah di bawah Mataram (oh, ironisnya… Ini sama aja dengan Suami di ketek Istri-nya). Sutawijaya ini memang orangnya suka perang. Daerah kekuasaannya pun semakin berkembang. Demak, Pasuruan, Kediri, dan Surabaya berturut-turut direbut.
Nah, pada awal 1600-an, Sultan Agung sebagai penerus kerjaan Mataram berhasil membangun Mataram dalam keadaan yang manteeeeb banget. Kekuasaan Mataram pada waktu itu meliputi hampir seluruh Jawa, dari Pasuruan sampai Cirebon. Sementara itu VOC telah menguasai beberapa wilayah seperti di Batavia dan Indonesia Bagian Timur.
Penggantinya Sultan Agung adalah anaknya, Amangkurat I (Btw…lucu juga ya kalo ngasih nama anak pake angka.. tau sih kalo itu cuma sebutan aja. Tapi jadi terinspirasi ngasih nama anak dari angka. Misalnya anak cewe, maka namanya Nokia 70, atau kalo cowok namanya HP Laser Jet 3055.. Wooow… kira2 nama panggilan mereka di sekolah apa y? Hehe…).
Kembali ke Amangkurat I, ternyata sifat ke Amangkurat I beda jauh dengan bokapnya, Sultan Agung . Ia sangatlah kejam. Lebih kejam dari ibu tiri maupun ibukota. Akibatnya, muncullah pemberontakan besar-besaran pada tahun 1674 yang didukung para ulama dan bangsawan yang dikenal dengan Perang Trunajaya. Amangkurat I pun setres, lalu ia ke psikiater. Psikiater menyarankan agar ia segera minta bantuan VOC saja untuk bantuin numpas Trunajaya. Tapi belum sempat bunuh Trunajaya dan kerjasama dengan VOC, Amangkurat I udah mati duluan karena sakit (stroke kali ya… He2. Gak dink, ada satu versi yang menyebutkan kalau diduga ia diracun anaknya sendiri, Amangkurat II). Sepeninggalan bokapnya, Amangkurat II pun naek tahta dan melanjutkan kerjasama dengan VOC.
Akhirnya Trunajaya berhasil dibunuh oleh Amangkurat II dengan bantuan VOC… Amangkurat II sangatlah senang. Lalu ia berkata, “ Wahai mas VOC… aku sangat berterimakasih atas bantuanmu… sekarang katakan permintaanmu…(neng nang neng duuung… ada bekgron musik gamelan-nya).
VOC pun mengingatkan Amangkurat II tentang janjinya untuk memberikan daerah Semarang sebagai kesepakatan telah membantu menumpas Trunajaya.
“Oh iyaa.. ane lupa..  ya sudah, semarang buat ente!!” Seru Amungkurat II.
Yak, Saudara-saudara.. disitulah mulainya penjajahan Belanda di Semarang.
Oleh Belanda, Semarang selanjutnya menjadi basis militer dan pusat perdagangan Belanda. Nah, orang pribumi yang di sana bawaannya sentimen terus sama para Bule Londo (Belanda maksudnya).
Namun penduduk pribumi punya alasan kenapa mereka menjadi sentimen dengan Si Bule Londo. Ini berawal dari anak-anak Pribumi yang selalu saja kalah kalo maen gundu dengan mereka. Apalagi pas lagi acara 17-an anak pribumi seringkali gak kebagian hadiah karena kaki-nya kalah panjang dibandingkan dengan si Bule Londo kalo lagi balap karung dan panjat pinang. Bukan itu saja, para pemuda pribumi juga sedih karena perempuan-perempuan pribumi mulai nglirik-lirik Si bule Londo sambil teriak, “ Hai.. bule….” atau “duh idungnya mancung banget…” atau “Aaaaaa… We love u.. Marry Me…” Gitu.. Tinggallah si pemuda pribumi yang pada umumnya item dan pesek itu mulai berfikir menjadi gay saja. Apakah gay adalah jalan hidupku? Pertanyaan itu terus berkecamuk di dalam pikiran pemuda pribumi. Mereka merasa tidak dicintai. Ahh.. tapi tunggu dulu, daripada jadi gay, lebih baik mati melawan si Bule Londo itu… Akhirnya slogan itu pun cepat sekali menyebar di kalangan pemuda pribumi. “Lebih baik mati melawan Belanda, daripada mati menjadi gay!” nasionalisme mereka pun terbentuk! Pemberontakan kepada Belanda terjadi! Hehehe… gaklah. . paragraf ini cuma improvisasi gw aja.
Intinya gitu, penduduk setempat sering melakukan pemberontakan karena kesemena-menaan Bule Londo. Nah, karena sering timbul konflik dan peperangan dengan rakyat yang ogah Semarang dibawah kekuasaan Belanda, maka kemudian, Belanda membangun benteng di pusat Kota Semarang. Benteng ini berbentuk segi lima dan pertama kali dibangun di sisi barat kota lama Semarang saat ini. Benteng ini hanya memiliki satu gerbang di sisi selatannya dan lima menara pengawas. Masing-masing menara diberi nama: Zeeland, Amsterdam, Utrecht, Raamsdonk dan Bunschoten. Di dalam Benteng ini kemudian berkembang pula sebagai perkampungan Belanda. Lalu kemudian tahun 1731, Pemerintah Belanda memindahkan pemukiman Cina dari daerah Simongan (Gedung Batu) ke daerah baru dekat dengan pemukiman Belanda yang sekarang dikenal dengan nama Pecinan Semarang. Ini karena orang Cina ikut-ikutan membantu Sultan Surakarta melawan Belanda. Nah, kalo udah dekat dengan Pemukiman Belanda kan, gerak-gerik orang Cina di Semarang lebih mudah diawasi. Dulu, terdapat dua pemukiman utama, yaitu Pemukiman Belanda dibawah pemerintahan gubernur Belanda, yang mengurus daerah di dalam Benteng dan penduduknya dan pemukiman pribumi yang berada di luar gerbang benteng. Di dalam Benteng pemukimannya berkembang menjadi satu pemukiman dan kota tersendiri yang emang berfungsi mengatur seluruh kota Semarang, soalnya pusat pemerintahan ada di dalam benteng ini.
Kota Lama Semarang
Lama kelamaan pada Benteng yang dibangun ini, pemukiman Belanda mulai bertumbuh tepatnya di sisi timur benteng Vijfhoek“. Banyak rumah, gereja dan bangunan perkantoran dibangun di pemukiman ini. Pemukiman ini adalah cikal bakal dari kota lama Semarang. Pemukiman ini terkenal dengan nama de Europeeshe Buurt“. Semua bangunannya dibuat dengan arsitekturnya Belanda. Bahkan kali Semarang pun dibentuk mirip Kanal-kanal di Belanda. Coba yang jajah kita dulu orang Perancis, bisa jadi kota romantis deh Indonesia, ada menara Eiffel-nya. He2. Pada masa itu benteng Vifjhoek“ belum menyatu dengan pemukiman Belanda . Sebenarnya Kota Lama Semarang sudah dari tahun 1678 direncanakan untuk menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda. Namun karena pemberontakan sering terjadi, Benteng yang terletak di sisi barat kota lama ini dibongkar dan dibangun benteng baru yang melindungi seluruh Kota Lama Semarang. Kehidupan di dalam Benteng berkembang dengan baik. Mulai banyak bermunculan bangunan-bangunan baru. Pemerintah Kolonial Belanda membangun gereja Kristen baru yang bernama gereja Emmanuel“ yang sekarang terkenal dengan nama Gereja Blenduk“. Pada sebelah utara Benteng dibangun Pusat komando militer untuk menjamin pertahanan dan keamanan di dalam benteng.
Namun pada tahun 1824 gerbang dan menara pengawas benteng ini mulai dirobohkan. Orang Belanda dan orang Eropa lainnya mulai menempati pemukiman di sekitar jalan Bojong (sekarang jalan Pemuda). Pada masa ini kota lama Semarang telah tumbuh menjadi kota kecil yang lengkap.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia mengambil alih usaha-usaha dagang Belanda, kantor-kantor dan bangunan-bangunan lainnya. Tapi entah kenapa daerah Kota Lama ini jadinya gak berkembang perdagangan dan perekonomiannya. Akhirnya pemilik baru bangunan kuno ini milih meninggalkan bangunannya dan dibiarkan kosong tak terawat. Sekarang Kota Lama Semarang bukan lagi pusat kota, pusat perekonomian dan pusat segala kegiatan, namun udah pindah ke tempat lain. Jadinya, Kota Lama sekarang jadi sepi dan cuma beberapa bangunan aja yang masih berfungsi.
Jadi begitulah ceritanya… Inilah enaknya kalo bukan Ahli Sejarah, kita bisa menulis apa aja yang kita mau tentang sejarah tanpa takut salah. Jadi kalo ada orang yang protes kalo ceritanya gak gitu… Maka dengan entengnya dapat dijawab dengan kalimat, “ Kan gw bukan ahli sejarah…” Hehe…

Friday 3 June 2011

Gus maksum

Pondok Pesantren dulunya tidak hanya mengajarkan ilmu agama dalam pengertian formal-akademis seperti sekarang ini, semisal ilmu tafsir, fikih, tasawuf, nahwu-shorof, sejarah Islam dan seterusnya. Pondok pesantren juga berfungsi sebagai padepokan, tempat para santri belajar ilmu kanuragan dan kebatinan agar kelak menjadi pendakwah yang tangguh, tegar dan tahan uji. Para kiainya tidak hanya alim tetapi juga sakti. Para kiai dulu adalah pendekar pilih tanding.
Akan tetapi belakangan ada tanda-tanda surutnya ilmu bela diri di pesantren. Berkembangnya sistem klasikal dengan materi yang padat, ditambah eforia pembentukan standar pendidikan nasional membuat definisi pesantren kian menyempit, melulu sebagai lembaga pendidikan formal.</p>
Para ulama-pendekar merasa gelisah. H Suharbillah, seorang pendekar dari Surabaya yang gemar berorganisasi menemui KH Mustofa Bisri dari Rembang dan menceritakan kekhawatiran para pendekar. Mereka lalu bertemu dengan KH Agus Maksum Jauhari Lirboyo alias Gus Maksum yang memang sudah masyhur di bidang beladiri. Nama Gus Maksum memang selalu identik dengan “dunia persilatan”.
Pada tanggal 12 Muharrom 1406 M bertepatan tanggal 27 September 1985 berkumpulah mereka di pondok pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur, untuk membentuk suatu wadah di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU) yang khusus mengurus pencak silat. Musyawarah tersebut dihadiri tokoh-tokoh pencak silat dari daerah Jombang, Ponorogo, Pasuruan, Nganjuk, Kediri, serta Cirebon, bahkan dari pulau Kalimantan pun datang.
Musyawarah berikutnya diadakan pada tanggal 3 Januari 1986, di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur, tempat berdiam Sang Pendekar, Gus Maksum. Dalam musyawarah tersebut disepakati pembentukan organisasi pencak silat NU bernama Ikatan Pencak Silat Nahdlatul Ulama “Pagar Nusa” yang merupakan kepanjangan dari “Pagarnya NU dan Bangsa.” Kontan para musyawirin pun menunjuk Gus Maksum sebagai ketua umumnya. Pengukuhan Gus Maksum sebagai ketua umum Pagar Nusa itu dilakukan oleh Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid dan Rais Aam KH Ahmad Sidiq.
Gus Maksum lahir di Kanigoro, Kras, Kediri, pada tanggal 8 Agustus 1944, salah seorang cucu pendiri Pondok Pesantren Lirboyo KH Manaf Abdul Karim. Semasa kecil ia belajar kepada orang tuanya KH Abdullah Jauhari di Kanigoro. Ia menempuh pendidikan di SD Kanigoro (1957) lalu melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Lirboyo, namun tidak sampai tamat. Selebihnya, ia lebih senang mengembara ke berbagai daerah untuk berguru ilmu silat, tenaga dalam, pengobatan dan kejadukan (Dalam “Antologi NU” terbitan LTN-Khalista Surabaya).
Sebagai seorang kiai, Gus Maksum berprilaku nyeleneh menurut adat kebiasaan orang pesantren. Penampilannya nyentrik. Dia berambut gondrong, jengot dan kumis lebat, kain sarungnya hampir mendekati lutut, selalu memakai bakiak. Lalu, seperti kebiasaan orang-orang “jadug” di pesantren, Gus Maksum tidak pernah makan nasi alias ngerowot. Uniknya lagi, dia suka memelihara binatang yang tidak umum. Hingga masa tuanya Gus Maksum memelihara beberapa jenis binatang seperti berbagai jenis ular dan unggas, buaya, kera, orangutan dan sejenisnya.
Dikalangan masyarakat umum, Gus Maksum dikenal sakti mandaraguna. Rambutnya tak mempan dipotong (konon hanya ibundanya yang bisa mencukur rambut Gus Maksum), mulutnya bisa menyemburkan api, punya kekuatan tenaga dalam luar biasa dan mampu mengangkat beban seberat apapun, mampu menaklukkan jin, kebal senjata tajam, tak mempan disantet, dan seterusnya. Di setiap medan laga (dalam dunia persilatan juga dikenal istilah sabung) tak ada yang mungkin berani berhadapan dengan Gus Maksum, dan kehadirannya membuat para pendekar aliran hitam gelagapan. Kharisma Gus Maksum cukup untuk membangkitkan semangat pengembangan ilmu kanuragan di pesantren melalui Pagar Nusa.
Sebagai jenderal utama “pagar NU dan pagar bangsa” Gus Maksum selalu sejalur dengan garis politik Nahdlatul Ulama, namun dia tak pernah terlibat politik praktis, tak kenal dualisme atau dwifungsi. Saat kondisi politik memaksa warga NU berkonfrontasi dengan PKI Gus Maksum menjadi komandan penumpasan PKI beserta antek-anteknya di wilayah Jawa Timur, terutama karesidenan Kediri. Ketika NU bergabung ke dalam PPP maupun ketika PBNU mendeklarasikan PKB, Gus Maksum selalu menjadi jurkam nasional yang menggetarkan podium. Namun dirinya tidak pernah mau menduduki jabatan legislatif ataupun eksekutif. Pendekar ya pendekar! Gus Maksum wafat di Kanigoro pada 21 Januari 2003 lalu dan dimakamkan di pemakaman keluarga Pesantren Lirboyo dengan meninggalkan semangat dan keberanian yang luar biasa.