Pages - Menu

Sunday 30 January 2011

kekasih bayangan

Terhitung sudah tiga hari ini Ria menganggap obrolan Winta dan Diana jadi amat membosankan. Tampaknya mereka sudah tidak peduli lagi apakah Ria menyukai obrolan itu atau tidak karena tiap kali obrolan mereka tampaknya makin seru.
"Benar lho, Na. Dion kemarin mulai sering curi-curi pandang ke arah gue. Bukannya ge-er. Dua kali gue nangkep basah," kata Winta sambil menelan cendol hijau kesukaannya.
"Itu berarti udah deket lagi ama jadian. Kayak waktu gue dengan Restu tempo hari. Nggak lama setelah dia suka curi pandang, mulai deh dia ngajak nonton. Mana film India lagi. Tahu kan gue paling suka film India. Udah karcisnya murah, filmnya panjang," timpal Diana. Tangannya membetulkan letak kacamatanya.
"Ah, itu sih otak elo aja yang nggak mau rugi!" sahut Winta. Ia kemudian melirik Ria yang cuma mengaduk-aduk siomai di depannya. "Elo sendiri gimana? Gacoan elo udah dapat?"
Ria cuma tersenyum kecil matanya menerawang lalu mengedip-ngedip membuat Diana dan Winta penasaran. "Pokoknya seru dan mengesankan," mulut Ria terbuka. Ia sendiri tidak tahu bagaimana tiba-tiba bisa mengatakan kalimat itu.
"Seru gimana?" tanya Winta yang tak menyangka Ria akan memberi respon lantaran sejak tadi cuma bengong.
Mulut Ria tak segera terbuka. Dipandanginya Winta dan Diana bergantian. "Begini.... Mmm, kemarin gue kan ke toko buku beli diari buat kado ultah Nenek gue. Nah, pas pulangnya di bis ada cowok cakep. Ya, akhirnya kita kenalan deh."
"Pasti elo duluan yang ngajak kenalan," tuding Diana.
"Yee, kok nuduh. Yang jelas mulanya karena waktu itu gue mau bayar bis, tapi nggak punya receh. Uang gue limapuluh ribuan semua. Untung cowok di sebelah gue itu ngerti dan mau bayarin gue."
"Namanya siapa?" tanya Winta dan Diana nyaris berbarengan.
"Namanya.... Mmm Roy. Ya, Roy. Perhatikan, dari namanya aja dia bakalan cocok jadi cowok gue. Ria dan Roy. Cocok, kan?" Mata Ria berbinar. Dia memuji dirinya sendiri dalam hati karena kali ini bisa membuat dua sahabatnya takjub. Soal apakah dusta itu akan terbongkar, itu urusan nanti.
Bel istirahat usai berbunyi. Tiga sahabat itu bergegas menuju kelas setelah membayar apa yang mereka makan dan minum selama di kantin. Di sela-sela waktu belajar, pikiran Ria menerawang memikirkan rencana obrolan soal cowok gacoannya. Ya, tidaknya dia tak perlu duduk menjadi pendengar setia saat di antara sahabatnya.
Pulang sekolah Ria tidak bisa pulang bareng dengan dua sahabatnya. Diana pulang dengan cowok barunya, Restu. Meski Restu menawarinya untuk satu mobil, tapi Ria menolak. Apa enaknya jadi kambing congek di antara sepasang kekasih. Sementara itu Winta masih harus rapat OSIS. Tentu aja cewek itu semangat karena di sanalah dia bisa saling curi-curi pandang dengan Dion.
Ria melangkah malas ke halte terdekat. Jam pulang sekolah begini butuh perjuangan untuk mendapatkan tempat duduk fi atas bis. Makanya Ria sengaja memilih bis patas AC, meski mahal asal sampai. Begitu bis yang ditunggunya datang, Ria segera naik dan mencari tempat duduk di bagian belakang, biar gampang turun.
"Hei, ketemu lagi kita! Baru pulang?"
Ria terkejut mendengar sapaan di sebelahnya karena ia baru saja duduk. Seorang cowok cakep menatapnya sambil tersenyum. Ria mencoba mengingat-ingat sosok di sebelahnya. Siapa?
"Lupa, ya? kemarin sore kita kan baru kenalan di bis. Namamu Ria, dan aku Roy. Kita kenalan gara-gara kamu nggak punya uang receh untuk bayar bis kemarin. Ingat?"
Ria menggeser duduknya sedikit menjauh. Roy? Kemarin? Ah, mana mungkin! Aku kan cuma berbohong mengatakan hal itu kepada Winta dan Diana pagi tadi. Lalu siapa orang ini sebenarnya? Ria kelimpungan.
"Terserah kamu kalo memang nggak mau kenal lagi denganku. Cuma kamu perlu tahu, aku nggak bisa tidur semalaman. Habis kamu nggak ngasih tahu nomor HP. Untung Tuhan kasihan sama aku. Nggak nyangka bisa ketemu kamu pulang sekolah begini," Roy terus nyerocos.
Ria masih berpikir. Aku nggak bisa diam terus, putusnya dalam hati. "Maaf, kalau boleh tahu, kamu sendiri masih sekolah, kuliah atau...."
"Menurut kamu apa? Yang jelas aku sudah tamat SMA. Apa kamu keberatan kalau punya pacar bukan anak SMA?"
"Pacar? Kok ngelantur, sih?"
"Lho, kamu kan kemarin bilang belum punya pacar. Apa aku kurang ganteng untuk ukuranmu?"
Ria melirik wajah Roy. Matanya begitu mirip Ethan Hawke. Sama persis dengan cowok yang diidolakan Ria selama ini. Pantas saja Ria tadi merasa pernah melihat Roy. Setidaknya, Ria memang pernah membayangkan punya pacar yang bertampang macam itu.
"Ria dan Roy. Aku rasa itu nama pasangan yang cocok, kan?" kata Roy lagi.
Ria mengerutkan dahinya. Kalimat itu sempat diungkapkannya kepada Diana dan Winta tadi pagi. Ia menghela napas sebentar. Semua ini tidak mungkin dipikirkan. Jalani aja... jalani aja, bisiknya dalam hati.
"Rumahmu masih jauh?" Roy menyentak Ria.
"Masih dua halte lagi," jawab Ria setelah melihat keluar jendela. "Nanti ganti naik mikrolet. Sampailah."
"Boleh aku tahu rumah kamu?"
Ria buru-buru menggeleng. "Kapan-kapan aja. Jangan sekarang," lanjutnya. Dia ngeri membayangkan tampang Neneknya kalau sampai melihat ada cowok yang mengantarnya. Masih menempel di benaknya ketika Shasa, kakaknya, dulu waktu SMA pernah diceramahi habis-habisan gara-gara membawa teman cowok ke rumah. Itulah yang sampai kini membuat Ria ragu untuk pacaran.
***
Sebenarnya Ria ingin mengatakan kejadian menakjubkan yang dialaminya saat ngobrol di kantin seperti biasanya. Tapi niat itu diurungkannya karena yakin dua sahabatnya malah tidak akan pernah mempercayainya lagi nanti. Lagipula, Ria sudah bisa menikmati obrolan soal cowok.
Winta berceloteh tentang Dion yang mulai berani mengantarnya pulang kemarin. Diana memaparkan sifat romantis Restu saat mengajaknya nonton film India terbaru yang dibintangi Shahrukh Khan dan Preity Zinta. Ria tentu aja ngak mau kalah, menceritakan hal yang dialaminya kemarin ditambah sedikit bumbu biar seru.
"Jadi dia anak orang kaya? Ah, masak orang kaya bisa dua kali ketemu lagi naik bis," timpal Winta usai Ria berceloteh.
"Mobilnya lagi ngadat. Nanti dia rencananya mau ngejemput sepulang sekolah. Sekalian ngajak makan-makan," bohong Ria kian kumat.
"Kalo begitu, gue nggak langsung pulang ah nanti. Penasaran pengen lihat gacoan elo itu," kata Winta.
"Gue juga. Kenalin ya!"
Ria gelagapan menanggapinya. Sedetik kemudian terdengar kalimat melengking di belakangnya. Mieke dengan gaya yang centil mendekati tiga sahabat itu sambil membagi-bagi undangan berbentuk dadu.
"Jangan lupa datang hari Sabtu nanti. Syaratnya cuma bawa pasangan. Yang nggak punya pacar, boleh bawa adik atau kakak, asal jangan bawa kambing!" kata Mieke sebelum meninggalkan meja di sudut kantin itu.
Mereka bertiga buru-buru membaca undangan itu. Diana langsung tersenyum karena ia yakin kalo Restu akan mau diajaknya ke pesta, sementara Winta hanya komat-kamit berharap agar Dion nanti akan menawarkan diri menjadi pasangannya, sedangkan Ria masih bingung.
"Elo bakal ngajak si Roy, kan?" tanya Diana. Benaknya sudah membayangkan betapa serunya acara kencan bersama itu nanti.
"Entahlah. Aku nggak tahu dia suka pesta atau nggak."
"Ya, tinggal kamu tanya aja nanti. Uh, rasanya gue nggak sabar menunggu bel pulang. Gimana sih tampang Roy-mu itu!" kata Winta sambil menyuapkan siomai ke mulutnya.
Ria cuma meringis. Ia malah berharap waktu berjalan lambat agar bisa berpikir alasan apa yang dilontarkannya nanti karena sebenarnya Roy memang tidak akan pernah datang. Namun waktu malah berjalan semakin cepat. Dan sewaktu bel pulang berbunyi dada Ria berdetak kian keras. Apalagi Winta dan Diana terus menguntitnya.
Sepuluh menit pertama Diana dan Winta masih berharap cemas mendampingi Ria di pintu gerbang, sepuluh menit berikutnya perut mereka keroncongan dan mulai memaki Ria.
"Coba elo telepon dong ke HP-nya."
"Udah barusan. Tapi nggak aktif."
Sepuluh menit kemudian Winta dan Diana meninggalkan Ria karena sudah tak tahan ingin pulang. Cuma Ria yang tinggal karena dia harus pura-pura tetap menunggu Roy. Dan tiga menit kemudian, sebuah Corona putih tepat di depan Ria.
"Roy!" Ria memekik kaget ketika melihat sosok yang keluar dari dalam mobil. Dia menengok kanan-kiri, siapa tahu Winta dan Diana masih ada. Dengan demikian dua sahabatnya bisa segera tahu bahwa ia kini benar-benar sudah punya gacoan.
"Kupikir aku terlambat menjemputmu," kata Roy sambil mendekati Ria.
"Menjemputku?"
"Kamu kemarin kan memperbolehkan aku jemput kamu sekarang. Dan jangan bilang, kamu juga lupa bahwa siang ini aku janji mentraktirmu makan!"
"Nggak, aku ingat itu!" timpal Ria meski bingung. Semuanya harus kujalani, apa adanya! Tekan Ria. Dia segera masuk ke dalam mobil, duduk di sisi Roy.
Ria merasakan saat yang membahagiakan. Inikah yang namanya musim semi? Pantas Diana dan Winta selalu bersemangat tiap hari. Seandainya saja Nenek membolehkanku, Ria membatin.
Saat makan di sebuah restoran Jepang, Ria mengatakan pada Roy soal undangan pesta ulangtahun Mieke. "Aku sendiri sebenarnya nggak begitu suka pesta. Tapi dua sahabatku minta supaya aku datang. Bagaimana menurutmu, Roy?"
"Yang namanya diundang, ya harus datang. Aku nggak keberatan menemani kamu. Berapa hari lagi sih? Oh, lima hari lagi? Kok ngundangnya mepet begini?"
"Sebenarnya undangan lisannya udah dari dua minggu lalu. Oh, iya makasih kalo emang kamu mau nganter aku. Tapi aku...." Ria teringat bayangan Neneknya.
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa." Ria menengok arlojinya. "Sudah kelamaan nih. Pulang yuk."
Roy mengangguk. Dia mengantar Ria. Tapi Ria menolak Roy mengantar sampai depan rumah. Dia meminta Roy menghentikan mobilnya beberapa rumah sebelumnya. Untung Roy tidak tersinggung dan mau mengerti.
Ria menemukan Neneknya di teras rumah. Dia merasa beruntung karena tadi Roy tidak mengantarnya sampai depan rumah. Ria mendekati Nenek, dan memberi kecupan. Tawa kecil Nenek membuat Ria heran.
"Mengapa nggak kamu suruh temanmu mampir dulu?"
"Ah, Nenek. Ria kan naik bis."
"Jangan bohong. Seragammu bersih dan nggak tercium bau rokok serta keringat seperti biasanya. Mukamu cerah dan langkahmu seperti orang yang habis makan kenyang. Begitu, kan?"
Ria tersipu. Susah memang berbohong pada Neneknya, sekecil apapun.
"Dia pacarmu?"
"Nenek bukannya nggak suka kalo Ria pacaran?"
"Kapan Nenek melarang? Belum pernah."
"Secara langsug memang belum. Tapi Ria masih ingat waktu dulu Nenek marahin pacar Mbak Shasa, padahal Mbak Shasa udah gede."
Nenek tersenyum memamerkan kempot pipinya. "Jadi karena itu kamu takut pacaran? Waktu itu Nenek marah sama Shasa bukan karena dia pacaran, bukan pula karena udah gede atau belum. Tapi apa pantas Shasa pergi dengan seorang cowok sampai larut malam dan tanpa pamit? Pantas nggak?"
Ria menggeleng. Matanya baru terbuka kalau selama ini sebenarnya neneknya tidak melarang ia pacaran. Yang penting asal tahu batas dan aturan!
***
Tidak ada berita yang paling menggembirakan bagi Winta dan Diana ketika Ria menyampaikan bahwa ia akan pergi bersama Roy ke pesta Mieke. Berarti tiga sahabat itu bisa bepergian bareng tanpa mengorbankan perasaan satu orang pun.
"Jadi Roy tuh kemaren telat jemput elo? Ih, gara-gara Winta nggak sabaran sih."
"Yeee, kok gue sih yang disalahin."
"Roy ada rencana jemput elo lagi nggak sih?"
Ria menggeleng. Takut kejadian kemaren terulang lagi. "Lagian gengsi banget minta dijemput mulu," kilah Ria walau sebearnya dia berharap lain.
Ya, pulang sekolah Ria sengaja naik patas AC lagi. Siapa tau bisa ketemu dia lagi, harapnya. Pikirannya menerawang, mengingat Roy. Baru dua kali ketemu Ria merasa ada yang lain di hatinya. Aih, cepat banget sih?
Mudah-mudahan nanti dia nelepon, harapnya. Ria menyesal HP-nya rusak karea kerendam cucian tadi pagi.
Waktu berlalu cepat ketika Ria mengharapkan keajaiban muncul. Tapi tidak ada telepon dari Roy maupun kemunculan surpraisnya. Ria mendadak merasa dadanya terhimpit. Sementara wajah Roy makin melekat di benaknya.
Roy-Roy-Roy.... Kamu di mana sih?
***
Penyakit memang tidak pernah diundang datangnya. Pagi setelah hari yang dilalui Ria. Tanpa Roy, Ria terbaring sakit. Entah apa sebabnya. Malah sampai tiga hari kemudian Ria masih terbaring sakit. Seperti biasa Diana dan Winta kembali menjenguk Ria di siang hari. Sekalian mengabarkan, sebagai tanda solidaritas mereka akan membatalkan rencana ke pesta ulangtahun Mieke nanti malam.
"Gue nggak mungkin ke pesta itu sementara elo terbaring sakit seperti ini," papar Winta.
"Jangan bodoh. Gacoan kalian pasti nggak suka ini. Mereka akan menyumpahi penyakit gue tambah parah."
Winta memandang Diana. "Hal ini juga sekalian menunjukkan rasa penyesalan gue karena selama ini nggak mengerti perasaan elo," timpal Diana.
"Apa maksud kalian?" tanya Ria. Kepalanya yang pusing semakin bingung.
"Tentang Dion dan Restu. Mestinya kami tahu diri nggak cerita tentang mereka di depan elo. Hingga akhirnya elo harus berbohong."
"Win, sederhanain kalimat elo!"
Winta menghela napas. "Ayolah, Ria, elo harus jujur bahwa elo nggak suka kalo gue sama Diana bicara soal cowok-cowok itu karena elo nggak punya seorang cowok yang harus elo bicarain. Lalu elo ngarang tentang Roy untuk menutupi kejengkelan elo itu."
"Pada mulanya memang gue berbohong, kemudian dia muncul, Roy memang ada."
"Tapi mana dia? Emang elo pernah bisa menghadirkannya di depan gue berdua? Bahkan sudah tiga hari elo terbaring sakit, dia nggak muncul-muncul?" desak Winta disusul Diana. Mereka yakin betul, penyakit yang dialami Ria pun gara-gara tekanan tidak punya pasangan untuk ke pesta ulangtahun Mieke.
Ria menggigit bibirnya. Pertanyaan itu juga muncul di benaknya. Mengapa Roy nggak datang-datang juga? Semakin dipikir kian membuat dirinya tak berdaya. Ria menggamit tangan Winta. Isaknya terdengar pelan. "Mungkin dia sedang ke luar negeri ya, Win," katanya menghibur diri, sekaligus menjaga agar tangisnya nggak jatuh.
Diana mengelus rambut Ria. Sejak semula dia sudah menduga cerita Ria tentang Roy cuma isapan jempol belaka. Tapi ia tak mau menggubris. Cuma kalau jadinya Ria seperti ini, tentu saja sebagai sahabat dia tidak tega.
"Tapi dia seperti benar-benar ada. Tawanya, ucapannya dan semuanya masih kuingat di kepalaku," sambung Ria.
Diana mengibaskan tangannya. "Elo harus lupain itu semua. Barangkali sosok Roy sebenarnya cuma kekasih fantasi aja. Itu lho, tentu elo masih ingat waktu kita kecil dulu punya teman fantasi yang seolah-olah ada menemani kita saat sendirian. Kayaknya Si Roy makhluk semacam itu yang hadir karena tekanan kesendirian elo, Ria," ujar Diana mencoba membagi pengetahuan yang ia miliki.
Ria termangu. Mungkin dua sahabatnya benar. Dia harus melupakan Roy yang sesungguhnya tidak pernah ada itu.
"Biar elo nggak ngehayal lagi, nanti akan gue bantu deh nyari cowok buat pasangan elo. Sebut aja, mau Peter, Gino atau Oding?"
"Win, elo tuh kalo nawarin orang seenaknya. Memangnya gampang. Belum tentu dianya mau sama gue."
"Ya, namanya juga usaha. Asal jangan Delon aja. Soalnya gue juga ngejar-ngejar dia."
Pintu kamar diketuk sebentar, lalu muncul Nenek membawa baki berisi dua gelas jus segar untuk Winta dan Diana. Nenek juga menyodorkan faksimili.
"Dari Singapura," kata Nenek sebelum kemudian pergi meninggalkan kamar.
Ria buru-buru mrmbaca kertas surat tersebut.
Dearest Ria,
Maaf, aku nggak bisa memenuhi janji mengantarmu ke pesta ulangtahun itu. Kami sekeluarga harus segera pergi ke Berlin. Ada keluarga kami yang meninggal di sana. Surat ini kutulis di pesawat dan kukirim saat transit di Singapura. O, iya HP aku ilang kemarin lusa. Jadi nggak bisa telepon kamu dulu. Tapi waktu aku coba hubungin HP kamu pake HP nyokap, kok mailbox mulu. Tetaplah menungguku. Aku menyayangimu.
Yours,
Roy
Ria terbelalak mengetahui isi surat di tangannya. Dia buru-buru menyodorkannya pada Winta dan Diana. Dua sahabat itu tercengang kaget melebihi Ria. Jadi mana yang benar, Roy itu ada atau nggak?
"Elo nggak nyuruh sodara elo di Singapura ngirim surat palsu ini, kan?" selidik Winta.
"Gue nggak punya teman ataupun saudara di sana." Ria menggeleng kuat. Matanya menerawang ke langit-langit dengan bibir menyungging senyum.
Kali ini keyakinan Ria berubah lagi. Bukankah surat itu sudah cukup membuktikan, Roy kekasihnya memang benar-benar ada, bukan kekasih bayangan atau fantasi. Masih adakah yang meragukan hal itu?

Sunday 9 January 2011

Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolani

Pada akhir abad kedelapan hijriyah dan pertengahan abad kesembilan hijriyah termasuk masa keemasan para ulama dan terbesar bagi perkembangan madrasah, perpustakaan dan halaqah ilmu, walaupun terjadi keguncangan sosial politik. Hal ini karena para penguasa dikala itu memberikan perhatian besar dengan mengembangkan madrasah-madrasah, perpustakaan dan memotivasi ulama serta mendukung mereka dengan harta dan jabatan kedudukan. Semua ini menjadi sebab berlombanya para ulama dalam menyebarkan ilmu dengan pengajaran dan menulis karya ilmiyah dalam beragam bidang keilmuan. Pada masa demikian ini muncullah seorang ulama besar yang namanya harum hingga kini al-Haafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani. Berikut biografi singkat beliau:

Nama dan Nashab
Beliau bernama Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar Al-Kannani Al-Asqalani al-Mishri. (lihat Nazhm al-‘Uqiyaan Fi A’yaan al-A’yaan karya As-Suyuthi hal 45)
Gelar dan Kunyah Beliau
Beliau seorang ulama besar madzhab syafi’i, digelari dengan ketua para qadhi, syaikhul islam, hafizh al-Muthlaq (seorang hafizh secara mutlak), amirul mukminin dalam bidang hadist dan dijuluki syihabuddin dengan nama pangilan (kuniyahnya) adalah Abu Al-Fadhl. Beliau juga dikenal dengan nama Abul Hasan Ali dan lebih terkenal dengan nama Ibnu Hajar Nuruddin Asy-Syafi’i. Guru beliau, Burhanuddin Ibrahim Al-Abnasi memberinya nama At-Taufiq dan sang penjaga tahqiq.
Kelahirannya
Beliau dilahirkan tanggal 12 Sya’ban tahun 773 Hijriyah dipinggiran sungai Nil di Mesir kuno. Tempat tersebut dekat dengan Dar An-Nuhas dekat masjid Al- Jadid. (lihat adh-Dahu’ al-Laami’ karya imam as-Sakhaawi 2/36 no. 104 dan al-badr at-Thaali’ karya asy-Syaukani 1/87 no. 51).
Sifat beliau
Ibnu hajar adalah seorang yang mempunyai tinggi badan sedang berkulit putih, mukanya bercahaya,bentuk tubuhnya indah, berseri-seri mukanya, lebat jenggotnya, dan berwarna putih serta pendek kumisnya. Dia adalah seorang yang pendengaran dan penglihatan sehat, kuat dan utuh giginya, kecil mulutnya, kuat tubuhnya, bercita-cita tinggi,kurus badannya, fasih lisannya, lirih suaranya, sangat cerdas, pandai, pintar bersyair dan menjadi pemimpin dimasanya.
Pertumbuhan dan belajarnya
Ibnu hajar tumbuh dan besar sebagai anak yatim, ayah beliau meninggal ketika ia berumur 4 tahun dan ibunya meninggal ketika ia masih balita. Ayah beliau meninggal pada bulam rojab 777 H setelah berhaji dan mengunjungi baitulmaqdis dan tinggal didua tempat tersebut. Waktu itu Ibnu Hajar ikut bersama ayahnya. Setelah ayahnya meninggal beliau ikut dan diasuh oleh Az-Zaki Al-Kharubi (kakak tertua ibnu hajar) sampai sang pengasuh meninggal. Hal itu karena sebelum meninggal, sang ayah berwasiat kepada anak tertuanya yaitu saudagar kaya bernama Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Ahmad Al-Kharubi (wafat tahun 787 H) untuk menanggung dan membantu adik-adiknya. Begitu juga sang ayah berwasiat kepada syaikh Syamsuddin Ibnu Al-Qaththan (wafat tahun 813 H) karena kedekatannya dengan Ibnu Hajar kecil.
Ibnu hajar tumbuh dan besar sebagai anak yatim piatu yang menjaga iffah (menjaga diri dari dosa), sangat berhati-hati, dan mandiri dibawah kepengasuhan kedua orang tersebut. Zaakiyuddun Abu Bakar al-Kharubi memberikan perhatian yang luar biasa dalam memelihara dan memperhatikan serta mengajari beliau. Dia selalu membawa Ibnu Hajar ketika mengunjungi dan tinggal di Makkah hingga ia meninggal dunia tahun 787 H.
Pada usia lima tahun Ibnu Hajar masuk al-Maktab (semacam TPA sekarang) untuk menghafal al-Qur`an, di sama ada seorang guru yang bernama Syamsuddin bin Al-Alaf yang saat itu menjadi gubernur Mesir dan juga Syamsuddin Al-Athrusy. Akan tetapi, ibnu hajar belum berhasil menghafal al-Qur’an sampai beliau diajar oleh seorang ahli fakih dan pengajar sejati yaitu Shadruddin Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazaq As-Safthi Al Muqri’. Kepada beliau ini lah akhirnya ibnu hajar dapat mengkhatamkan hafalan Al-Qur’annya ketika berumur sembilan tahun.
Ketika Ibnu Hajar berumur dua belas tahun ia ditunjuk sebagai imam shalat tarawih di Masjidil Haram pada tahun 785H.
Ketika sang pengasuh berhaji pada tahun 784H, Ibnu Hajar menyertainya sampai tahun 786H hingga kembali bersama Al-Kharubi ke Mesir. Setelah kembali ke Mesir pada tahun 786 H Ibnu Hajar benar-benar bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, hingga ia hafal beberapa kitab-kitab induk seperti al-‘Umdah al-Ahkaam karya Abdulghani al-maqdisi, al-Alfiyah fi Ulum al-hadits karya guru beliau al-Haafizh al-Iraqi, al-Haawi ash-Shoghi karya al-Qazwinir, Mukhtashar ibnu al-Haajib fi al-Ushul dan Mulhatu al-I’rob serta yang lainnya.
Pertama kali ia diberikan kesenangan meneliti kitab-kitab sejarah (tarikh) lalu banyak hafal nama-nama perawi dan keadaannya. Kemudian meneliti bidang sastra Arab dari tahun 792 H dan menjadi pakar dalam syair.
Kemudian diberi kesenangan menuntut hadits dan dimulai sejak ahun 793 H namun beliau belum konsentrasi penuh dalam ilmu ini kecuali pada tahun 796 H. Diwaktu itulah beliau konsentrasi penuh untuk mencari hadits dan ilmunya.
Saat ketidakpuasan dengan apa yang didapatkan akhirnya Ibnu Hajar bertemu dengan Al- Hafizh Al-Iraqi yaitu seorang syaikh besar yang terkenal sebagai ahli fikih, orang yang paling tahu tentang mahzab Syafi’i. Disamping itu ia seorang yang sempurna dalam penguasaan tafsir, hadist dan bahasa Arab. Ibnu Hajar menyertai san guru selama sepuluh tahun. Dan dalam sepuluh tahun ini Ibnu Hajar menyelinginya dengan perjalanan ke Syam dan yang lainnya. Ditangan syaikh inilah Ibnu Hajar berkembang menjadi seorang ulama sejati dan menjadi orang pertama yang diberi izin Al-Iraqi untuk mengajarkan hadits. Sang guru memberikan gelar Ibnu Hajar dengan Al- Hafizh dan sangat dimuliakannya. Adapun setelah sang guru meninggal dia belajar dengan guru kedua yaitu Nuruddin Al-Haitsami, ada juga guru lain beliau yaitu Imam Muhibbuddin Muhammad bin Yahya bin Al- Wahdawaih melihat keseriusan Ibnu Hajar dalam mempelajari hadits, ia memberi saran untuk perlu juga mempelajari fikih karena orang akan membutuhkan ilmu itu dan menurut prediksi nya ulama didaerah tersebut akan habis sehingga Ibnu Hajar amat diperlukan.
Imam Ibnu Hajar juga melakukan rihlah (perjalanan tholabul ilmi) ke negeri Syam, Hijaj dan Yaman dan ilmunya matang dalam usia muda himgga mayoritas ulama dizaman beliau mengizinkan beliau untuk berfatwa dan mengajar.
Beliau mengajar di markaz ilmiyah yang banyak diantaranya mengajar tafsir di al-madrasah Al-Husainiyah dan al-Manshuriyah, mengajar hadits di Madaaris al-Babrisiyah, az-Zainiyah dan asy-Syaikhuniyah dan lainnya. Membuka majlis tasmi’
Beliau juga memegang masyikhokh (semacam kepala para syeikh) di al-madrasah al-Baibrisiyah dan madrosah lainnya (lihat ad-Dhau’ al-Laami’ 2/39).
Para Guru Beliau
Al-Hafizh Ibnu Hajar sangat memperhatikan para gurunya dengan menyebut nama-nama mereka dalam banyak karya-karya ilmiyahnya. Beliau menyebut nama-nama mereka dalam dua kitab, yaitu:
1. Al-Mu’jam al-Muassis lil Mu’jam al-Mufahris
2. Al-Mu’jam al-Mufahris
Imam as-Sakhaawi membagi guru beliau menjadi tiga klasifikasi:
a. Guru yang beliau dengar hadits darinya walaupun hanya satu hadits
b. Guru yang memberikan ijazah kepada beliau
c. Guru yang beliau ambil ilmunya secara mudzkarah atau mendengar darinya khutbah atau karya ilmiyahnya.
Guru beliau mencapai lebih dari 640an orang, sedangkan Ibnu Khalil ad-Dimasyqi dalam kitab Jumaan ad-Durar membagi para guru beliau dalam tiga bagian juga dan menyampaikan jumlahnya 639 orang.
Dalam kesempatan ini kami hanya menyampaikan beberapa saja dari mereka yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan keilmuan beliau agar tidak terlalu panjang biografi beliau ini.
Diantara para guru beliau tersebut adalah:
I. Bidang keilmuan al-Qira’aat (ilmu al-Qur`an):
Syeikh Ibrohim bin Ahmad bin Abdulwahid bin Abdulmu`min bin ‘Ulwaan at-tanukhi al-ba’li ad-Dimasyqi (wafat tahun 800 H) dikenal dengan Burhanuddin asy-Syaami. Ibnu Hajar belajar dan membaca langsung kepada beliau sebagian al-Qur`an, kitab asy-Syathibiyah, Shohih al-Bukhori dan sebagian musnad dan juz al-hadits. Syeikh Burhanuddin ini memberikan izin kepada Ibnu Hajar dalam fatwa dan pengajaran pada tahun 796 H.
II. Bidang ilmu Fikih:
1. Syeikh Abu Hafsh Sirojuddin Umar bin Ruslaan bin Nushair bin Sholih al-Kinaani al-‘Asqalani al-Bulqini al-Mishri (wafat tahun 805 H) seorang mujtahid, haafizh dan seorang ulama besar. Beliau memiliki karya ilmiyah, diantaranya: Mahaasin al-Ish-thilaah Fi al-Mushtholah dan Hawasyi ‘ala ar-Raudhah serta lainnya.
2. Syeikh Umar bin Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Abdillah al-Anshori al-Andalusi al-Mishri (wafat tahun 804 H) dikenal dengan Ibnu al-Mulaqqin. Beliau orang yang terbanyak karya ilmiyahnya dizaman tersebut. Diantara karya beliau: al-I’laam Bi Fawaa`id ‘Umdah al-Ahkam (dicetak dalam 11 jilid) dan Takhrij ahaadits ar-Raafi’i (dicetak dalam 6 jilid) dan syarah Shohih al-Bukhori dalam 20 jilid.
3. Burhanuddin Abu Muhammad Ibrohim bin Musa bin Ayub Ibnu Abnaasi (725-782 ).
III. Bidang ilmu Ushul al-Fikih :
Syeikh Izzuddin Muhammad bin Abu bakar bin Abdulaziz bin Muhammad bin Ibrohim bin Sa’dullah bin Jama’ah al-Kinaani al-Hamwi al-Mishri (Wafat tahun 819 H) dikenal dengan Ibnu jama’ah seorang faqih, ushuli, Muhaddits, ahli kalam, sastrawan dan ahli nahwu. Ibnu Hajar mulazamah kepada beliau dari tahun 790 H sampai 819 H.
IV. Bidang ilmu Sastra Arab :
1. Majduddin Abu Thaahir Muhammad bin ya’qub bin Muhammad bin Ibrohim bin Umar Asy-Syairazi al-Fairuzabadi (729-827 H). seorang ulama pakar satra Arab yang paling terkenal dimasa itu.
2. Syamsuddin Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali bin Abdurrazaaq al-Ghumaari 9720 -802 H).
V. Bidang hadits dan ilmunya:
1. Zainuddin Abdurrahim bin al-Husein bin Abdurrahman bin Abu bakar bin Ibrohim al-Mahraani al-Iraqi (725-806 H ).
2. Nuruddin abul Hasan Ali bin Abu Bakar bin Sulaimanbin Abu Bakar bin Umar bin Shalih al-Haitsami (735 -807 H).
Selain beberapa yang telah disebutkan di atas, guru-guru Ibnu Hajar, antara lain:
Al-Iraqi, seorang yang paling banyak menguasai bidang hadits dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan hadits.
Al-Haitsami, seorang yang paling hafal tentang matan-matan.
Al-Ghimari, seorang yang banyak tahu tentang bahasa Arab dan berhubungan dengan bahasa Arab.
A-Muhib bin Hisyam, seorang yang cerdas.
Al-Ghifari, seorang yang hebat hafalannya.
Al-Abnasi, seorang yang terkenal kehebatannya dalam mengajar dan memahamkan orang lain.
Al-Izzu bin Jamaah, seorang yang banyak menguasai beragam bidang ilmu.
Diantara murid beliau yang terkenal adalah:
1. Syeikh Ibrohim bin Ali bin asy-Syeikh bin Burhanuddin bin Zhohiiroh al-Makki asy-Syafi’i (wafat tahun 891 H)
2. Syeikh Ahmad bin Utsmaan bin Muhammad bin Ibrohim bin Abdillah al-Karmaani al-hanafi (wafat tahun 835 H) dikenal dengan Syihabuddin abul Fathi alKalutaani seorang Muhaddits
3. Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hasan al-Anshari al-Khazraji (wafat tahun 875 H) yang dikenal dengan al-Hijaazi
4. Zakariya bin Muhammad bin Zakariya al-Anshari wafat tahun 926 H
5. Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Abu bakar bin Utsmaan as-Sakhaawi asy-Syafi’i wafat tahun 902 H
6. Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Abdullah bin Fahd al-Hasyimi al-‘Alawi al-Makki wafat tahun 871 H.
7. Burhanuddin Al-Baqa’i, penulis kitab Nuzhum Ad-Dhurar fi Tanasub Al-Ayi wa As-Suwar.
8. Ibnu Al-Haidhari.
9. At-Tafi bin Fahd Al-Makki.
10. Al-Kamal bin Al-Hamam Al-Hanafi.
11. Qasim bin Quthlubugha.
12. Ibnu Taghri Bardi, penulis kitab Al-Manhal Ash-Shafi.
13. Ibnu Quzni.
14. Abul Fadhl bin Asy-Syihnah.
15. Al-Muhib Al-Bakri.
16. Ibnu Ash-Shairafi.
Wafatnya
Setelah melalui masa-masa kehidupan yang penuh dengan kegiatan ilmiyah dalam khidmah kepada ilmu dan berjihad menyebarkannya dengan beragam sarana yang ada. Ibnu Hajar jatuh sakit dirumahnya setelah ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai qadhi pada tanggal 25 Jamadal Akhir tahun 852 H. Dia adalah seorang yang selalu sibuk dengan mengarang dan mendatangi majelis-majelis taklim hingga pertama kali penyakit itu menjangkit yaitu pada bulan Dzulqa’dah tahun 852 H. Ketika ia sakit yang membawanya meninggal, ia berkata, “Ya Allah, bolehlah engkau tidak memberikanku kesehatan, tetapi janganlah engkau tidak memberikanku pengampunan.” Beliau berusaha menyembunyikan penyakitnya dan tetap menunaikan kewajibannya mengajar dan membacakan imla`. Namun penyakit tersebut semakin bertambah parah sehingga para tabib dan penguasa (umara) serta para Qadhi bolak balik menjenguk beliau. Sakit ini berlangsung lebih dari satu bulan kemudian beliau terkena diare yang sangat parah dengan mengeluarkan darah. Imam as-Sakhaawi berkata: Saya mengira Allah telah memuliakan beliau dengan mati syahid, karena penyakit tha’un telah muncul. Kemudian pada malam sabtu tanggal 18 Dzulhijjah tahun 852 H berselang dua jam setelah shalat isya’, orang-orang dan para sahabatnya berkerumun didekatnya menyaksikan hadirnya sakaratul maut.
Hari itu adalah hari musibah yang sangat besar. Orang-orang menangisi kepergiannya sampai-sampai orang non muslim pun ikut meratapi kematian beliau. Pada hari itu pasar-pasar ditutup demi menyertai kepergiannya. Para pelayat yang datang pun sampai-sampai tidak dapat dihitung. Semua para pembesar dan pejabat kerajaan saat itu datang melayat dan bersama masyarakat yang banyak sekali menyolatkan jenazah beliau. Diperkirakan orang yang menyolatkan beliau lebih dari 50.000 orang dan Amirul Mukminin khalifah Al-Abbasiah mempersilahkan Al-Bulqini untuk menyalati Ibnu Hajar di Ar-Ramilah di luar kota Kairo. Jenazah beliau kemudian dipindah ke Al-Qarafah Ash-Shughra untuk dikubur di pekuburan Bani Al-Kharrubi yang berhadapan dengan masjid Ad-Dailami di antara makam Imam Syafi’i dengan Syaikh Muslim As-Silmi.
Sanjungan Para Ulama Terhadapnya
Al-Hafizh As-Sakhawi berkata, “Adapun pujian para ulama terhadapnya, ketahuilah pujian mereka tidak dapat dihitung. Mereka memberikan pujian yang tak terkira jumlahnya, namun saya berusaha untuk menyebutkan sebagiannya sesuai dengan kemampuan.”
Al-Iraqi berkata “Ia adalah syaikh, yang alim, yang sempurna, yang mulia, yang seorang muhhadits (ahli hadist), yang banyak memberikan manfaat, yang agung, seorang Al-Hafizh, yang sangat bertakwa, yang dhabit (dapat dipercaya perkataannya), yang tsiqah, yang amanah, Syihabudin Ahmad Abdul Fadhl bin Asy-Syaikh, Al-Imam, Al-Alim, Al-Auhad, Al-Marhum Nurudin, yang kumpul kepadanya para perawi dan
syaikh-syaikh, yang pandai dalam nasikh dan mansukh, yang menguasai Al-Muwafaqat dan Al-Abdal, yang dapat membedakan antara rawi-rawi yang tsiqah dan dhoif, yang banyak menemui para ahli hadits,dan yang banyak ilmunya dalam waktu yang relatif pendek. ” Dan masih banyak lagi Ulama yang memuji dia, dengan kepandaian Ibnu Hajar.
Karya Ilmiyah Beliau.
Al-Haafizh ibnu Hajar telah menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu dan menyebarkannya dengan lisan, amalan dan tulisan. Beliau telah memberikan jasa besar bagi perkembangan beraneka ragam bidang keilmuan untuk umat ini.
Murid beliau yang ternama imam as-Sakhaawi dalam kitab ad-Dhiya’ al-Laami’ menjelaskan bahwa karya tulis beliau mencapai lebih dari 150 karya, sedangkan dalam kitab al-Jawaahir was-Durar disampaikan lebih dari 270 karya.
Tulisan-tulisan Ibnu Hajar, antara lain:
– Ithaf Al-Mahrah bi Athraf Al-Asyrah.
– An-Nukat Azh-Zhiraf ala Al-Athraf.
– Ta’rif Ahli At-Taqdis bi Maratib Al-Maushufin bi At-Tadlis (Thaqabat Al-Mudallisin).
– Taghliq At-Ta’liq.